- Pilkada DKI Jakarta selalu menjadi sorotan. Masing-masing pasangan calon merupakan tokoh nasional. Selain sebagai percontohan, lokasi yang strategis membuat Pilkada DKI Jakarta selalu menjadi pemberitaan di semua media. Media televisi selalu punya segmen untuk Pilkada DKI Jakarta, media daring (situs berita online) selalu menurunkan berita tentang Pilkada Jakarta. Begitu pula dengan media massa cetak. Dalam kolom Jakarta, berita yang diturunkan adalah berita pilkadanya.
Ada hal yang menarik berkaitan dengan posisi media dalam pilkada DKI Jakarta. Meskipun masing-masing media menyatakan posisinya netral, tetapi hal itu tidak tampak dalam porsi berita. Misalnya metrotv melalui jaringan berita baik berita onlinenya, maupun Media Indonesia selalu berpihak. Porsi pemberitaan untuk pasangan Ahok-Djarot jauh lebih banyak dibanding berita pasangan calon lain. Selain itu, berita yang diturunkan oleh Metrotv selalu berita positif tentang Ahok.
Posisi jaringan media grup (Metrotv dkk.) yang selalu menurunkan berita positif tentang Ahok dalam Pilkada Jakarta disebabkan karena kepentingan pimpinan Media Grup. Surya Paloh yang juga Ketua Umum Partai Nasinal Demokrat (Nasdem) sekaligus pimpinan Media Grup, tentu akan memanfaatkan jaringan medianya untuk mendulang suara atau setidaknya memuluskan target politiknya.
Apakah tindakan Media Grup (Metrotv dkk.) adalah tindakan yang salah? Tentu tidak, Setiap berita dan wacana yang ditulis pasti punya kepentingan. Kebetulan saja, kepentingan Media Grup (Metrotv dkk.) adalah memenangkan Ahok - Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta.
Hal serupa juga dilakukan oleh Jawa Pos untuk membela juragannya. Ketika Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Pos selalu menurunkan berita dari sudut pandang Dahlan Iskan. Baik dari Dahlan Iskan pribadi, keluarga, maupun para pendukungnya, atau setidaknya dari orang-orang yang bersimpati kepada Dahlan Iskan.
Tindakan Jawa Pos untuk selalu menurunkan berita tentang dukungan terhadap Dahlan Iskan bisa dianggap posisi media tidak netral. Tetapi dalam kasus tertentu masih bisa dibenarkan, karena 'membela kebenaran'.
Selain menurunkan berita dari sudut pandang Dahlan Iskan, Jawa Pos juga menggemborkan berita tentang kasus yang menyeret-nyeret nama Maruli dalam pusaran kasus korupsi. Maruli adalah kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Kata-kata Dahlan Iskan yang menyebut dirinya sedang diincar oleh orang yang lagi berkuasa menjadi indikasi pertentangan dan perseteruan Dahlan Iskan dengan penguasa. Meskipun Jusuf Kalla sebagai orang yang sedang berkuasa dengan Jokowi, menolak jika yang dimaksud oleh Dahlan Iskan dalam pernyataan tersebut adalah Jokowi dan dirinya.
Kedua media ini Jawa Pos Grup dan Media Grup, berada dalam posisi yang berbeda. Media Grup condong terhadap Ahok, sementara Jawa Pos Grup condong, 'asal bukan Ahok'. Hal ini tampak dalam berita-berita yang diturunkan oleh kedua jaringan media tersebut.
Keberpihakan kedua media tersebut tampak pada pilihan kata yang digunakan dalam judul untuk informasi berita yang sama. Metrotv dalam teks berjalannya (running text) menurunkan berita 'Elektabilitas Ahok-Djarot masih unggul'. Untuk berita hasil survei yang sama, Jawa Pos menurunkan berita berjudul 'Elektabilitas Ahok Terjun Bebas'.
Dengan pilihan kata 'masih unggul' Metrotv ingin menunjukkan bahwa, pemenang Pilkada DKI Jakarta adalah Ahok-Djarot. Media ini tidak menggunakan kata penurunan elektabilitas Ahok. Penurunan elektabilitas berarti ada kemungkinan terus menurun, maka juga ada kemungkinan kalah.
Jawa Pos menggunakan kata 'Terjun Bebas', lebih negatif daripada sekadar kata 'Turun'. Bandingkan saja jika judul berita Pilkada DKI Jakarta berbunyi begini: 'Elektabilitas Ahok Menurun'. Itu judul yang kurang sadis. Judul berit seperti ini hanya dimungkinkan akan diturunkan oleh media yang benar-benar netral, misalnya TVRI atau RRI yang memang tidak boleh memihak sama sekali dalam kegiatan politik.
Jawa Pos berpihak kepada 'Asal Bukan Ahok' mungkin karena Ahok dianggap orang yang sedang berkuasa dan sedang didukung oleh partai yang sedang berkuasa pula. Sementara Dahlan Iskan mengatakan sedang diincar oleh penguasa. Mungkin mereka sedang berseteru.
Entahlah, yang jelas, perbedaan penggunaan pilihan kata saja sudah menunjukkan keberpihakan, selain itu masing-masing kata mampu menunjukkan kekuatan yang sangat dahsyat. Maka, berhati-hatilah berkata. Terlebih dalam situasi Pilkada yang yang memanas, khususnya Pilkada DKI Jakarta, selain memang suasana udara di sana panas, Pilkada yang semakin memanas, juga ditambah adanya pihak tertentu yang diindikasikan ikut memanas-manasi suasana Jakarta. Jadi ingat, sempat ada pula video panas di videotron di Jakarta. hahahaha.
Salam !
Kekuatan Kata dalam Pilkada DKI Jakarta |
Posisi jaringan media grup (Metrotv dkk.) yang selalu menurunkan berita positif tentang Ahok dalam Pilkada Jakarta disebabkan karena kepentingan pimpinan Media Grup. Surya Paloh yang juga Ketua Umum Partai Nasinal Demokrat (Nasdem) sekaligus pimpinan Media Grup, tentu akan memanfaatkan jaringan medianya untuk mendulang suara atau setidaknya memuluskan target politiknya.
Apakah tindakan Media Grup (Metrotv dkk.) adalah tindakan yang salah? Tentu tidak, Setiap berita dan wacana yang ditulis pasti punya kepentingan. Kebetulan saja, kepentingan Media Grup (Metrotv dkk.) adalah memenangkan Ahok - Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta.
Hal serupa juga dilakukan oleh Jawa Pos untuk membela juragannya. Ketika Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Pos selalu menurunkan berita dari sudut pandang Dahlan Iskan. Baik dari Dahlan Iskan pribadi, keluarga, maupun para pendukungnya, atau setidaknya dari orang-orang yang bersimpati kepada Dahlan Iskan.
Tindakan Jawa Pos untuk selalu menurunkan berita tentang dukungan terhadap Dahlan Iskan bisa dianggap posisi media tidak netral. Tetapi dalam kasus tertentu masih bisa dibenarkan, karena 'membela kebenaran'.
Selain menurunkan berita dari sudut pandang Dahlan Iskan, Jawa Pos juga menggemborkan berita tentang kasus yang menyeret-nyeret nama Maruli dalam pusaran kasus korupsi. Maruli adalah kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Kata-kata Dahlan Iskan yang menyebut dirinya sedang diincar oleh orang yang lagi berkuasa menjadi indikasi pertentangan dan perseteruan Dahlan Iskan dengan penguasa. Meskipun Jusuf Kalla sebagai orang yang sedang berkuasa dengan Jokowi, menolak jika yang dimaksud oleh Dahlan Iskan dalam pernyataan tersebut adalah Jokowi dan dirinya.
Kedua media ini Jawa Pos Grup dan Media Grup, berada dalam posisi yang berbeda. Media Grup condong terhadap Ahok, sementara Jawa Pos Grup condong, 'asal bukan Ahok'. Hal ini tampak dalam berita-berita yang diturunkan oleh kedua jaringan media tersebut.
Keberpihakan kedua media tersebut tampak pada pilihan kata yang digunakan dalam judul untuk informasi berita yang sama. Metrotv dalam teks berjalannya (running text) menurunkan berita 'Elektabilitas Ahok-Djarot masih unggul'. Untuk berita hasil survei yang sama, Jawa Pos menurunkan berita berjudul 'Elektabilitas Ahok Terjun Bebas'.
Dengan pilihan kata 'masih unggul' Metrotv ingin menunjukkan bahwa, pemenang Pilkada DKI Jakarta adalah Ahok-Djarot. Media ini tidak menggunakan kata penurunan elektabilitas Ahok. Penurunan elektabilitas berarti ada kemungkinan terus menurun, maka juga ada kemungkinan kalah.
Jawa Pos menggunakan kata 'Terjun Bebas', lebih negatif daripada sekadar kata 'Turun'. Bandingkan saja jika judul berita Pilkada DKI Jakarta berbunyi begini: 'Elektabilitas Ahok Menurun'. Itu judul yang kurang sadis. Judul berit seperti ini hanya dimungkinkan akan diturunkan oleh media yang benar-benar netral, misalnya TVRI atau RRI yang memang tidak boleh memihak sama sekali dalam kegiatan politik.
Jawa Pos berpihak kepada 'Asal Bukan Ahok' mungkin karena Ahok dianggap orang yang sedang berkuasa dan sedang didukung oleh partai yang sedang berkuasa pula. Sementara Dahlan Iskan mengatakan sedang diincar oleh penguasa. Mungkin mereka sedang berseteru.
Entahlah, yang jelas, perbedaan penggunaan pilihan kata saja sudah menunjukkan keberpihakan, selain itu masing-masing kata mampu menunjukkan kekuatan yang sangat dahsyat. Maka, berhati-hatilah berkata. Terlebih dalam situasi Pilkada yang yang memanas, khususnya Pilkada DKI Jakarta, selain memang suasana udara di sana panas, Pilkada yang semakin memanas, juga ditambah adanya pihak tertentu yang diindikasikan ikut memanas-manasi suasana Jakarta. Jadi ingat, sempat ada pula video panas di videotron di Jakarta. hahahaha.
Salam !