Sikap Toleransi dan Empati Sosial Terhadap Keberagaman Budaya
Kondisi masyarakat majemuk yang memiliki aneka ragam kebudayaan merupakan salah satu faktor penghambat proses integrasi nasional. Keanekaragaman kebudayaan di satu sisi memberikan kontribusi devisa negara jika ditinjau dari keunikan kebudayan yang dikelola sebagai aset pariwisata, namun di sisi lain amat rentan, sehingga terjadilah konflik sosial.
Hampir semua negara-negara yang penduduknya heterogen selalu akrab dengan konflik. India, Filipina termasuk Indonesia, setiap saat mudah tersulut konflik sosial yang bernuasa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Adapun Jepang, salah satu negara maju di dunia yang berada di kawasan Asia, merupakan negara dengan penduduk yang kebudayaannya homogen, sehingga dalam banyak hal memudahkan proses perencanaan dalam menyusun kebijaksanaan, sebab tidak ada golongan tertentu yang merasa dirugikan atau diprioritaskan.
Kondisi rawan konflik sebagai akibat dari masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini jauh telah lama dirasakan oleh para pejuang kemerdekaan bangsa. Itulah sebabnya pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia mengadakan Konggres Pemuda II dan menghasilkan kesepakatan bersama dalam bentuk Sumpah Pemuda. Pernyataan itu tidak lain bertujuan mulia, yakni mewujudkan satu kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan utuh meskipun terdiri atas beraneka ragam suku dan budaya.
Sejak awal para pejuang bangsa Indonesia menyadari bahwa kunci utama tercapainya kemerdekaan adalah persatuan. Sejarah membuktikan bahwa keberhasilan bangsa kolonial menguasai dan menjajah Indonesia dengan menerapkan politik adu domba (devide et impera). Dengan memecah belah maka kekuatan sebesar apa pun bisa dilemahkan dan dihancurkan. Itulah yang pernah dialami bangsa Indonesia selama ratusan tahun.
Demikianlah halnya dalam upaya mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan keanekaragaman kebudayaan, kita perlu bercermin pada sejarah, yakni mengedepankan persatuan untuk mengatasi berbagai permasalahan. Disorganisasi dan disintegrasi sebagai buah perubahan kebudayaan hanya bisa diatasi dengan mengupayakan persatuan. Untuk mencapai persatuan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk dengan aneka ragam kebudayaan adalah dengan mengembangkan sikap toleransi dan sikap empati pada diri setiap warga.
1. Toleransi
Toleransi adalah adanya sikap tenggang rasa yang bertujuan memberikan kebebasan orang lain untuk menjalankan haknya. Sikap toleransi sangat bertolak belakang dengan sikap etnosentrisme yang memandang rendah kebudayaan lain. Dengan memiliki sikap toleransi, menunjukkan luasnya pola pikir seseorang sekaligus menunjukkan pemahamannya mengenai kondisi alam semesta yang sangat beraneka ragam ini. Sikap toleransi merupakan landasan utama seseorang dalam membangun kebudayaan yang penuh ketenangan di lingkungan masyarakat yang multikultural.
2. Empati
Empati adalah suatu sikap yang menunjukkan turut merasakan apa yang dialami oleh orang lain, yakni dengan mencoba menempatkan dirinya dalam kondisi orang lain. Pada hakikatnya sikap empati ditunjukkan dalam bentuk perasaan “senasip dan sepenanggungan”. Dengan memiliki sikap empati, maka bukan sekadar toleransi yang ditunjukkan dalam kehidupan masyarakat majemuk ini, melainkan juga semangat kegotong-royongan atau kerja sama tanpa memandang perbedaan yang ada.
Sikap empati bangsa Indonesia yang majemuk ini tampak pada sebagian dari masyarakat Indonesia yang tertimpa musibah atau bencana alam. Empati akan membantu kita bisa cepat memisahkan antara masalah dengan orangnya. Kemampuan empati akan mendorong kita mampu melihat permasalahan dengan lebih jernih dan menempatkan objektivitas dalam memecahkan masalah. Banyak alternatif yang memungkinkan bisa diambil manakala kita dapat berempati dengan orang lain dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya empati sulit rasanya kita tahu apa yang sedang dihadapi seseorang karena kita tidak dapat memasuki perasaannya dan memahami kondisi yang sedang dialami.
Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal, nada bicara, ekspresi wajah dan sebagainya. Penelitian Rosenthal membuktikan bahwa anak yang mampu membaca pesan nonverbal akan membantu seseorang melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam diri seseorang karena pesan itu sulit untuk direkayasa. Begitu pula dengan nada bicara, ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuhnya. Seseorang yang mampu membaca pesan ini akan menjadi mudah untuk memahami perasaan orang lain.
Menurut Goleman, ada 3 karakteristik kemampuan empati, yakni sebagai berikut;
*Rajinlah belajar demi Bangsa dan Negara, serta jagalah kesehatanmu!
*Semoga anda sukses!
Kondisi masyarakat majemuk yang memiliki aneka ragam kebudayaan merupakan salah satu faktor penghambat proses integrasi nasional. Keanekaragaman kebudayaan di satu sisi memberikan kontribusi devisa negara jika ditinjau dari keunikan kebudayan yang dikelola sebagai aset pariwisata, namun di sisi lain amat rentan, sehingga terjadilah konflik sosial.
Hampir semua negara-negara yang penduduknya heterogen selalu akrab dengan konflik. India, Filipina termasuk Indonesia, setiap saat mudah tersulut konflik sosial yang bernuasa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Adapun Jepang, salah satu negara maju di dunia yang berada di kawasan Asia, merupakan negara dengan penduduk yang kebudayaannya homogen, sehingga dalam banyak hal memudahkan proses perencanaan dalam menyusun kebijaksanaan, sebab tidak ada golongan tertentu yang merasa dirugikan atau diprioritaskan.
Kondisi rawan konflik sebagai akibat dari masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini jauh telah lama dirasakan oleh para pejuang kemerdekaan bangsa. Itulah sebabnya pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia mengadakan Konggres Pemuda II dan menghasilkan kesepakatan bersama dalam bentuk Sumpah Pemuda. Pernyataan itu tidak lain bertujuan mulia, yakni mewujudkan satu kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan utuh meskipun terdiri atas beraneka ragam suku dan budaya.
Sejak awal para pejuang bangsa Indonesia menyadari bahwa kunci utama tercapainya kemerdekaan adalah persatuan. Sejarah membuktikan bahwa keberhasilan bangsa kolonial menguasai dan menjajah Indonesia dengan menerapkan politik adu domba (devide et impera). Dengan memecah belah maka kekuatan sebesar apa pun bisa dilemahkan dan dihancurkan. Itulah yang pernah dialami bangsa Indonesia selama ratusan tahun.
Demikianlah halnya dalam upaya mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan keanekaragaman kebudayaan, kita perlu bercermin pada sejarah, yakni mengedepankan persatuan untuk mengatasi berbagai permasalahan. Disorganisasi dan disintegrasi sebagai buah perubahan kebudayaan hanya bisa diatasi dengan mengupayakan persatuan. Untuk mencapai persatuan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk dengan aneka ragam kebudayaan adalah dengan mengembangkan sikap toleransi dan sikap empati pada diri setiap warga.
1. Toleransi
Toleransi adalah adanya sikap tenggang rasa yang bertujuan memberikan kebebasan orang lain untuk menjalankan haknya. Sikap toleransi sangat bertolak belakang dengan sikap etnosentrisme yang memandang rendah kebudayaan lain. Dengan memiliki sikap toleransi, menunjukkan luasnya pola pikir seseorang sekaligus menunjukkan pemahamannya mengenai kondisi alam semesta yang sangat beraneka ragam ini. Sikap toleransi merupakan landasan utama seseorang dalam membangun kebudayaan yang penuh ketenangan di lingkungan masyarakat yang multikultural.
2. Empati
Empati adalah suatu sikap yang menunjukkan turut merasakan apa yang dialami oleh orang lain, yakni dengan mencoba menempatkan dirinya dalam kondisi orang lain. Pada hakikatnya sikap empati ditunjukkan dalam bentuk perasaan “senasip dan sepenanggungan”. Dengan memiliki sikap empati, maka bukan sekadar toleransi yang ditunjukkan dalam kehidupan masyarakat majemuk ini, melainkan juga semangat kegotong-royongan atau kerja sama tanpa memandang perbedaan yang ada.
Sikap empati bangsa Indonesia yang majemuk ini tampak pada sebagian dari masyarakat Indonesia yang tertimpa musibah atau bencana alam. Empati akan membantu kita bisa cepat memisahkan antara masalah dengan orangnya. Kemampuan empati akan mendorong kita mampu melihat permasalahan dengan lebih jernih dan menempatkan objektivitas dalam memecahkan masalah. Banyak alternatif yang memungkinkan bisa diambil manakala kita dapat berempati dengan orang lain dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya empati sulit rasanya kita tahu apa yang sedang dihadapi seseorang karena kita tidak dapat memasuki perasaannya dan memahami kondisi yang sedang dialami.
Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal, nada bicara, ekspresi wajah dan sebagainya. Penelitian Rosenthal membuktikan bahwa anak yang mampu membaca pesan nonverbal akan membantu seseorang melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam diri seseorang karena pesan itu sulit untuk direkayasa. Begitu pula dengan nada bicara, ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuhnya. Seseorang yang mampu membaca pesan ini akan menjadi mudah untuk memahami perasaan orang lain.
Menurut Goleman, ada 3 karakteristik kemampuan empati, yakni sebagai berikut;
- Mampu menerima sudut pandang orang lain
- Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
- Mampu mendengarkan orang lain
- Sosialisasi
- Perkembangan kognitif
- Mood dan feeling
- Situasi dan tempat
- Komunikasi
- Rekam semua emosi pribadi
- Perhatikan lingkungan luar (orang lain)
- Dengarkan curhat orang lain
- Bayangkan apa yang sedang dirasakan orang lain dan akibatnya untuk diri kita
- Melakukan bantuan secepatnya
- Menghilangkan sikap egois
- Menghilangkan kesombongan
- Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri.
*Rajinlah belajar demi Bangsa dan Negara, serta jagalah kesehatanmu!
*Semoga anda sukses!