Perlawanan terhadap penjajahan pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hindia-Belanda (Indonesia) pada abad ke-17 dan 18 tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). Monopoli perdagangan dan mencampuri urusan dalam kerajaan menyebabkan perlawanan di berbagai daerah. Perlawanan tersebut belum dapat mengusir penjajah, namun membangkitkan semangat anti penjajahan.
Abad XIX merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah dalam menentang Pemerintah Hindia Belanda. Kegigihan perlawanan rakyat Indonesia menyebabkan Belanda mengalami krisis keuangan untuk biaya perang.
Perlawanan di berbagai daerah tersebut belum berhasil membuahkan kemerdekaan. Semua perlawanan dapat dipadamkan dan kerajaan-kerajaan di Indonesia semakin mengalami keruntuhan. Secara umum, kegagalan perjuangan rakyat Indonesia di berbagai daerah dalam mengusir penjajah adalah:
- Bersifat lokal/kedaerahan. Perlawanan di berbagai daerah di Indonesia melibatkan para pemimpin pada masyarakat setempat. Seandainya para pemimpin tersebut bersatu, tidak berjuang sendiri-sendiri, tentu perjuangan mengusir penjajah lebih mudah.
- Lebih mengandalkan kekuatan senjata. Masyarakat di berbagai daerah melakukan perlawanan dengan mengandalkan senjata. Sementara senjata lawan lebih modern, sehingga musuh mudah mengalahkan rakyat Indonesia.
- Tergantung pada pimpinan. Perjuangan rakyat di berbagai daerah sangat tergantung pada pemimpin. Apabila pemimpin tertangkap atau terbunuh, rakyat kurang mampu mengkoordinasikan perlawanan.
- Belum terorganisir secara nasional dan modern. Seandainya rakyat Indonesia pada masa tersebut memiliki organisasi modern, tentu tidak kesulitan melanjutkan kepemimpinan.
No. | Nama Peninggalan | Isi Peninggalan | Kondisi Peninggalan | Hubungan dengan Peristiwa |
1. | Gowa Selarong di Yogyakarta | Tempat ibadah, dan bekas tempat tinggal Pangeran Diponegoro dan pasukannya | Sangat terawat dan sering dikunjungi masyarakat | Perang Diponegoro |
2. | Benteng Fort de Kock | Benteng Fort de Kock digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau. | Saat ini menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park) | Perang Paderi |
3. | Benteng Roterdam | Benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa | Saat ini terdapat Museum La Galigo yang berisi sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya | Perang Makasar |
Beberapa contoh perlawanan rakyat Indonesia terhadap Pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai berikut.
1) Perang Saparua di Ambon Merupakan perlawanan rakyat Ambon dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Dalam pemberontakan tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan pasukan Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan dihukum gantung.
2) Perang Paderi di Sumatra Barat Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan Belanda, menyebabkan Belanda kesulitan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Paderi. Belanda benar-benar menghadapi musuh yang tangguh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai jatuhnya benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol ditangkap, kemudian diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.
3) Perang Diponegoro 1825-1830
Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda. Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Diponegoro.
Pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok-patok tersebut. Perang tidak dapat dihindarkan, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar Belanda.
Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanya sebagai jalan tipu muslihat karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855.
4) Perang Aceh
Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras.
Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje untuk mencari kelemahan rakyat Aceh. Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama.
Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlangsung hingga tahun 1930-an.
Perlawanan di Sumatra Utara dilakukan Sisingamangaraja XII, perlawanan di Sumatra Utara berlangsung selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara), Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda.
Perang Banjar berawal ketika Belanda campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai rakyat. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan berakhirlah perlawanan Banjar di pulau Kalimantan. Perlawanan benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866.
Perang Jagaraga berawal ketika Belanda dan kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846.
Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dibantu oleh Kerajaan Karangasem. Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Belanda melanjutkan ekspedisi militer tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan Perang Puputan.