– Selain menyukai kajian bahasa, sastra, pendidikan, saya juga menggemari sejarah. Tapi kalau urusan buku yang dibaca, tidak sebatas itu saja. Semua jenis buku selama tertarik untuk membaca ya dibaca. Hanya saja, untuk membeli masih pikir-pikir karena keterbatasan anggaran.
Dulu, waktu masih kuliah sering beli buku karena hampir selalu mendapatkan beasiswa. Kini, dengan pemasukan ‘hanya’ sebagai guru honorer di SMP swasta, anggaran untuk membeli buku tidak lagi bisa dialokasikan. Jadi, meskipun jalan-jalan ke toko buku, tidak pernah beli buku kecuali ada yang sangat murah waktu obral.
Ketika masih kuliah dulu, tertarik dengan buku yang berjudul Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius. Penulisnya adalah Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo. Saya tidak tertarik ekonomi (mungkin karena itu saya sekarang sering kesulitan ekonomi), juga tidak pernah mengetahui nama penulis buku tersebut. (Maaf, bukan bermaksud merendahkan yang terhormat Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo). Saya memang tidak pernah kuliah di jurusan ekonomi, jadi ekonom yang saya kenal hanya ‘ekonom kekinian’ yang sering nongol di televisi.
Sebagai orang yang pernah kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya mengenal tokoh-tokoh dan ilmuan di bidang bahasa dan sastra. Saya akrab dengan buku dan teori yang dikemukakan oleh para bahasawan semisal: Abdul Chaer, Anton Moeljono, dan Alif Danya Munsyi. Juga sering mengutip teori yang disampaikan oleh kritikus sastra semisal H.B Jassin, Rahmad Djoko Pradopo, dan Wellek & Werren. Beberapa penyair ternama juga pernah saya pahami karyanya antara lain, Putu Wijaya, WS Rendra, Mustofa Bisri bin Bisri Mustofa alias Gus Mus, Akhmad Taufiq (Dosen sekaligus sastrawan dari Universitas Jember. Hahaha).
Saya tertarik membeli buku tentang ekonomi dan ditulis oleh Profesor Doktor yang tidak saya kenal karena catatan kaki di judulnya: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara. Membeli buku hanya karena ada nama Sjafruddin Prawiranegara di kerterangan judulnya. Konsekuensi keputusan saya membeli buku yang tidak sesuai dengan bidang keilmuan adalah: Buku itu tidak saya baca.
Setelah sekitar empat tahun lalu saya beli, baru hari ini saya membaca buku tersebut. Itupun hanya dibaca judul, sekapur sirih, dan kata pengantarnya. Saya masih belum bisa membaca (lebih tepatnya belum mau) keseluruhan isi buku. Mungkin suatu saat akan saya habiskan buku ini. Bukankah ilmu dapat didapat dari mana saja. Bukankah belajar itu dari mahdi hingga ke lahdi.
Sekapur Sirih buku tersebut ditulis oleh A.M Fatwa, ini nama yang juga saya ketahui selain Amir Sjarifuddin. Prakata penulis, tentu ditulis sendiri oleh sang penulis bukur. Kata Pengantar ditulis oleh Fachry Ali. Belakangan nama Fachry Ali saya ketahui juga di acara televisi Melawan Lupa episode Hasyim Asyari. Fachry Ali adalah sejarawan.
Tulisan ini singkat saja membahas tentang Amir Sjarifuddin, tidak mungkin dibahas keseluruhan. Yang jelas Amir Sjarifuddin adalah Presiden RI yang Terlupakan. Dia pernah menjabat ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, menggantikan Presiden Soekarno yang ditangkap Belanda. Berarti dia (Amir Sjarifuddin) pernah menjabat sebagai presiden.
Amir Sjarifuddin, lulusan Belanda anak Priyayi Sunda. Bapaknya Raden Arsyad Prawiraatmadja adalah pengurus cabang Sarekat Islam. Jadi, keluarga Amir Sjarifuddin adalah keluarga Islam. Meskipun tidak pernah belajar Islam secara formal, dia bisa masuk ke Masyumi (Partai Islam di zamannya).
Amir Sjarifuddin ditangkap oleh pemerintahan Soekarno karena terlibat ‘pemberontakan’ oleh PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Baru keluar dari penjara di masa Orde Baru.
Lalu, mengapa Sjarifuddin saya anggap salah satu tokoh Indonesia yang gila? Ini alasannya.
Dia anak priyayi banten, kuliah di Belanda, mengikuti organisasi USI yang pro-Belanda. Maka dia bersifat kooperatif dan tidak anti-Belanda. Kawan-kawannya dari Indonesia yang ada di USI ikut partai sosialis sekuler, Amir Sjarifuddin justru ikut partai Islam.
Sjarifuddin pernah menjadi menteri semasa Presiden Soekarno, tetapi juga pernah menjadi tokoh dalam pemberontakan karena tidak menyetujui kebijakan-kebijakan Soekarno.
Ada lagi alasan bahwa Amir Sjarifuddin pantas disebut gila, ketika menjadi Direktur Bank Sentral, Amir Sjarifuddin merahasiakan keputusan sanering (dikenal dengan istilah Gunting Sjarifuddin). Kebijakan pemotongan nilai mata uang. Kebijakan itu diambil karena Indonesia mengalami inflasi luar biasa: 650%. Saking gilanya, dia juga merahasiakan kebijakannya itu kepada anak-istrinya. Akibatnya: Amir Sjarifuddin harus meminjam uang kepada kementerian keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Gila!